Siapa yang tidak kenal sate, terutama orang Indonesia. Makanan dengan ciri khas pakai tusukan ini merupakan salah satu kuliner kebanggaan kita yang telah mendunia. Dan selayaknya bangsa ini yang terdiri dari berbagai macam suku, satenya pun ada bermacam ragam. Dengan bahan utama daging ayam, daging sapi atau daging ikan, bahkan kerang, kuah dan bumbunya lah yang membuat keragaman. Sate Padang (lebih tepatnya sate Minang mungkin, karena Padang adalah satu tempat saja) adalah salah satu jenis yang terkenal dalam dunia kuliner Indonesia. Berawal dari saya yang nyamber hore twit mas Arie Parikesit, pelopor tur kuliner #KelanaRasa, yang sedang mempromosikan sate danguang-danguang, pembahasan tentang sate ini dirasa perlu dilakukan lebih lanjut. Tulisan ini berdasarkan pengalaman makan memakan saya selama ini, . Baiklah, mari kita mulai.
Orang-orang lebih mengenal kota Payakumbuh karena terletak ditengah sehingga lebih mudah dijangkau, Dan karena itu, pusat kuliner terpusat di Kota Payakumbuh. Segala macam kuliner khas Minang ataupun non-Minang bisa kita cicipi. Berbagai masakan khas Minang di rumah makan, sate danguang-danguang, sate pariaman, kawa daun, es tebak, lamang, dan banyak lainnya ada di sini. Dan beberapa tahun belakangan juga muncul banyak tempat makan dengan konsep kekinian (baca: tempat nongkrong) dengan ciri khas minuman kopmil (kopi milo) dan cemilan. Payakumbuh ramai dan mengenyangkan.
Namun jika ingin pengalaman makan sate danguang-danguang di tempat asalnya, cukup berkendara lebih kurang 25 menit dari Payakumbuh ke tempat asal sate ini. Danguang-danguang merupakan salah satu jorong (dusun) di kecamatan Guguak, Kab 50 Kota. Untuk penunjuk arah, silakan ikuti rambu yang menunjukkan arah ke Suliki. Danguang-danguang akan kita temui sebelum Suliki.
Di sini ada 2 nama besar yang selalu jadi tujuan utama para penikmat sate, Malin dan Inbur. Nama-nama ini merupakan nama penjualnya, yang untuk Pak Malin sendiri sudah almarhum. Pada awalnya, sate ini hanya bisa dinikmati sekali dalam seminggu, yaitu pada hari pasar yang jatuh pada hari Sabtu. Tapi dalam sepuluh tahun belakangan, dua brand (hahaha, i don’t know how to call it) ini membuka kedai permanen di depan pasar danguang-danguang sehingga bisa kita datangi setiap hari.
Untuk kepopuleran masing-masing bisa dikatakan imbang. Sama-sama disukai. Tapi untuk selera pribadi saya lebih sering beli di Inbur karena lebih terasa pedasnya. Kalau untuk sate Malin sendiri tidak terlalu pedas untuk lidah Minang saya. Sedangkan untuk ukuran satenya bisa dikatakan tidak ada perbedaaan. Sebelum lebih lanjut, mohon maaf karena tidak ada foto yang bisa dibagikan, karena saya kalau beli sate di danguang-danguang seringnya dibungkus lalu dihajar aja gitu rame-rame di rumah #maapkeunyah #blogmacamapaini
Dan jika suatu hari anda sudah masuk ke salah satu warung sate di danguang-danguang, minta lah pada uda-uda penjual agar satenya “dihidangkan”. Kalau sudah begitu, maka akan datang dihadapan kita ketupat yang diguyur kuah kuning yang agak kental lalu ditaburi bawang goreng. Lalu satenya mana? Tenang, tidak lama akan menyusul setumpuk daging (biasanya 50 tusuk untuk tamu 3-4 orang) di tengah-tengah meja. Dan jika masih ada stok, di dalam tumpukan daging tersebut juga akan ada sate lidah dan paru. Lalu mulai lah segera menikmati hidangan karena sate lebih enak ketika panas. Trus bayarnya bagaimana? Nanti akan dihitung pertusuk sate yang habis. Ketupat sudah habis tapi kuah masih bersisa? Masukkan keripik singkong atau kerupuk kulit yang biasanya selalu ada di meja ke dalam kuah sate, lalu teruskan perjuangan menghabiskan satenya. Atau ketupat dan kuah sudah habis tapi ingin coba makan keripik singkongnya? Mintalah “tambuah” kuah dan bawang goreng lalu lanjutkan lagi kunyah anda.
Ingin pengalaman berbeda dalam makan sate danguang-danguang? Beli lah sate yang dijual oleh para penjual yang memakai gerobak motor. Penjual seperti ini biasanya dijumpai di depan sekolah-sekolah. Rasanya tidak kalah dengan yang dijual di warung sate. Hanya saja mereka tidak sedia sate lidah atau paru, cuma sate daging saja. Dagingnya disimpan di tempat tertutup kok dan baru dikeluarkan kalau ada yang beli. Untuk tempat kuahnya pun ada tutupnya. Ada 2 favorit saya untuk sate berjalan ini. Satunya biasa nongkrong di depan SMAN 1 Kec Guguak, dan satunya lagi di depan mini market langganan saya. Mau eat like local (kid)? Beli lah satenya dalam “karucuik” atau kerucut atau pincuk dalam bahasa Jawa. Minta extra kuah, dan jangan lupa keripik singkongnya.
Jadi kapan mau makan sate ke danguang-danguang?